JAWABAN UTS SEMESTER 5 PEND.ADMIN FE UNY
1. Pertimbangan yang dapat dijadikan landasan bagi seseorang untuk diterima atau ditolak untuk melakukan kawin campur antar agama :
· Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya tersebut.
· Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
· Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
· Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan pria Muslim secara pasti dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
· hikmah dari larangan ini adalah karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agama suaminya, kemudian terseret kepada agama suaminya (non-Muslim). Demikian pula anak-anak yang lahir dari perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga, terhadap anak-anak melebihi ibunya.
· bahwa perkawinan antar orang yang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Karena itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya melarang perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam, kecuali pria Muslim yang kualitas iman dan Islamnya cukup baik, diperkenankan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang kaidah dan praktek ibadahnya tidak jauh menyimpang dari akidah dan praktek ibadah orang Islam.
· larangan perkawinan tersebut oleh KHI mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Pertama; dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua; dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a. سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Pertama; dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua; dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut:
a. سَدُّ الذَّرِيْعَةِ artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ artinya, mencegah/menghindari mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa kemurtadan dan broken home itu harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari/menariknya ke dalam Islam (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
· Penulis sendiri menyarankan supaya ajaran Islam harus tetap dijadikan dasar untuk menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Pertimbangan yang lain jangan mengalahkan pertimbangan agama. Hendaknya berpendirian kuat bahwa nikah dengan non Islam adalah haram, termasuk antara pria Islam dengan wanita Kristen di Indonesia.wallahu a'alam bishawab
2. Hubungan hokum antara seorang anak dengan orang tua yang sudah bercerai apabila keduanya memliki kekayaan yang terpisah, tetapi masing-masing orang tuanya sudah memiliki pasangan sendiri, kaitanya dengan hak sebagai ahli waris adalah
Hubungan meraka abadi dan terikat sesuai hukum islam seperti hukum waris dll, ahli waris tersebut juga berhak mendapat warisan dari orang tua mereka. Oleh karena itu anak masih memiliki hubungan perdata dengan orang tuannya oleh karena itu anak tetap berhak mendapat warisan.
Contoh :
misale A ( ayah ) bercerai dengan B ( ibu ), AB mempunyai anak X, terus A menikah dengan C dan B menikah dengan D. Jika A tersebut meninggal dunia maka X akan mendapatkan bagian warisan setelah berbagi dengan C, Dan apabila B meninggal maka X akan mendapatkan bagian warisan setelah berbagi dengan D.
3. Masalah warisan dapat diselesaikan secara hokum bagi pemilik harta
a. belum meninggal dunia
a. belum meninggal dunia
Dalam BW, UU No.1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam hanya mengenal pewarisan setelah pewaris meninggal dunia. Namun jika ia ingin memberikan hartany bisa dengan cara pemberian wasiat/hibah. Berbeda dengan hak adat yang tidak mengenal hibah, pemberian pada waktu pewaris masih hidup kepada ahli waris dalam hak adat termasuk dalam warisan.
b. sudah meninggal dunia tetapi dia memiliki hutang yang belum dilunasi oleh yang bersangkutan.
Jika pewaris masih mempunyai hutang maka kewajiban ahli waris untuk melunasi hutang-hutang tersebut dengan uang warisan hingga lunas sebelum warisan tersebut dibagi kepada ahli warisnya. (yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 ayat 1b dan ayat 2 )
4. Perbedaan hokum privat dengan hokum public dan yang termasuk lapangan hokum public dan yang termasuk dengan hokum perdata:
· Hukum perdata ( hokum privat ) adalah seperangkat aturan yang mengatur tingkah laku setiap orang atau badan hukum terhadap orang lain yang berkaitan dengan timbulnya hak dan kewajiban.
· Hokum public merupakan teori hokum yang mengatur hubungan antara individu (warga Negara, perusahaan ) dan negara.
Berikut perbedaan antara hukum privat dengan hukum publik dalam tabel dibawah ini.
perbedaan | hokum privat | hokum public |
Dilihat dari subjeknya | keduabelah pihak adalah perseorangan | salah satu pihak adalah penguasa |
Kedudukan para pihak | kedudukan sejajar | kedudukan tidak sejajar |
Sifat | pelengkap | Pemaksa |
Akibatya | dapat disimpangi | aturannya tidak dapat disimpangi |
Aspek perlindungan kepentingan | melindungi perorangan | melindungi kepentingan umum |
Ø Yang termasuk hokum privat : hokum perikatan, hokum perkawinan, hokum perjanjian dan hokum warisan, hukum tentang orang, hukum tentang benda, dan hukum tentang pembuktian dan daluwarsa. b. Badan Hukum Perdata (PT, koperasi, parpol, yayasan, badan amal, wakaf, dsb)
Ø Yang termsuk hokum public : hukum konstitusi , hukum administrasi dan hukum pidana
Hukuman mati, Hukuman penjara, Hukuman kurungan, Hukuman denda, Hukuman tutupan, Badan Hukum Publik (negara, pemda, BI, Perusahaan Negara berdasarkan PP, dsb)
5. Hokum adat yang berlaku di Indonesia selain hokum perdata :
· Hukum pembuktian dan daluwarsa
Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
a. Surat-surat
b. Kesaksian
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Daluarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak. Kedaluwarsa ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. (Ov. 47; KUHPerd. 584, 1381, 1963, 1967 dst.; Sv. 401 dst.)
6. Cara yang ditempuh untuk mewariskan hartanya kepada seseorang bukan keturunannya namun belum cukup umur :
Menurut UU no 1 tahun 1974 pewarisan itu prinsipnya karena kematian dan juga karena adanya hubungan darah, maka jika seseorang yang mau mewariskan pada seseorang yg bukan anaknya dan juga orang itu belom meninggal, maka itu tidak bisa disebut pewarisan, namun hal itu disebut dengan Hibah. Dan pewaris melakukan wasiat. Wasiat dapat diberikan kepada orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.Besarnya 1/3 dari hartanya. Cara yang ditempuh dengan memanggil notaries untuk mengurusi hal tersebut, akankah diberikan pada umur saat itu ataukah akan diberikan pada saat umur tertentu ( sudah cakap hokum ).
7. Latarbelakang BW sebagai sumber hokum di Indonesia dan materi apa yang tidak berlaku dalam hokum nasional kita.
Jadi BW digunakan di Indonesia karena setelah kemerdekaan Indonesia terjadi kekosongan hukum, karena tidak memungkinkan untuk menyusun UU sendiri maka Indonesia mengadopsi peraturan buatan pemerintah Hindia Belanda ini.
Yang tidak berlaku dalam hukum nasional kita adalah hal hal tentang tanah karena telah diatur dalam UU No.5 th 1960, perkawinan karena telah diatur dalam UU No.1 th 1974, dan pembagian golongan pribumi, eropa dan timur asing sudah tidak dipakai dalam BW.
0 komentar:
Posting Komentar